Bekerja, bukan berkarir

Itu akhirnya yang menjadi pilihan saya, Ya, sejak semalam. Maksudnya? Okay, let’s start sorting things out…

Pertama, berkarir berarti mendedikasikan waktu yang dimiliki untuk membangun “kedigdayaan” atau magnificency (?) di lingkungan profesional. Banyak yang positif disini, yang utama apa lagi kalau bukan penghasilan; dimana berkarir seharusnya berkorelasi positif dengan pemasukan. Pemasukan lebih berarti “lebih” juga untuk segalanya. Mampu menyekolahkan anak di sekolah bergengsi, memakai mobil-mobil keluaran terbaru, tidak memiliki kekhawatiran atas konsep kesejahteraan.

Kedua, jejaring alias networking. Berkarir berarti membangun jejaring untuk semakin mengembangkan diri ke prospek karir yang diinginkan. That takes your time, too. Membangun jejaring, entah disadari atau tidak, jauh lebih efektif dilakukan di luar jam kerja formal. Ngafe bareng, dugem, membangun komunitas. Kedekatan personal dengan relasi akan lebih terbangun dengan cara itu dibandingkan dengan meetingberjam-jam di sebuah ruang rapat membosankan.

Perlu saya akui, saya sudah mencoba untuk berkarir. Perjalanan yang dimulai sejak beberapa tahun yang lalu, dimana idealisme saya mengatakan bahwa kemampuan otak ini tidak boleh disia-siakan. Sebuah tekad bahwa “SAYA HARUS MENJADI SESEORANG”.

Namun apa yang saya temukan? Di balik kondisi finansial yang cukup mapan, ternyata begitu banyak yang dikorbankan. Saya tidak bisa menemukan kebahagiaan dengan berkarir. Bagaimana bisa? Dengan memutuskan untuk berkarir, maka saya sudah berubah menjadi seorang oportunis yang melihat segala sesuatu sebagai peluang untuk mendongkrak posisi saya secara profesional. Begitu pula dengan orang-orang yang berada di sekitar saya. Dalam kondisi seperti ini, ketulusan menjadi suatu hal yang nyaris mustahil. Pertemanan, keluarga, dan cinta. Oke, singkirkan semua itu jauh-jauh ketika keputusan untuk berkarir sudah dipilih.

Kembali pada keputusan saya, pikiran tentang bekerja dan berkarir ini muncul dalam perjalanan sepulang kerja kemarin malam. Butuh waktu nyaris empat jam untuk menembus kemacetan dari kawasan Tangerang Selatan sampai ke tempat tinggal saya di Kemayoran. Pada saat yang sama, suami saya juga mengalami hal yang sama. Dia harus menempuh perjalanan hampir tiga jam untuk bergerak dari Cilangkap ke Kemayoran. Saat itu saya berpikir, apa yang sebenarnya kami cari? Kami berdua harus berangkat kerja pagi hari, pulang larut malam, sepanjang jalan hanya terdiam di kendaraan masing-masing. Paling banter ada ocehan penyiar radio yang menemani. Buat apa?

Pertanyaan-pertanyaan yang tiada ujung berputar di kepala saya. Satu pertanyaan membawa saya ke pertanyaan lain sampai akhirnya selalu kembali ke pertanyaan yang sama: Apa yang saya cari?

Berangkat dari kehampaan itu, saya berpikir ulang, menelusuri pengetahuan yang sudah saya dapat sampai di usia saya yang menjelang 26 tahun ini. Saya seorang wanita, apa sebenarnya makna saya di dunia ini? Apakah berada dalam posisi karir lebih tinggi, berpenghasilan lebih besar, berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki memberi kepuasan pada diri saya? Ternyata tidak. Ternyata keinginan saya sederhana, sangat sederhana. Saya hanya ingin menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anak saya kelak, yang mampu memberikan bekal pengetahuan dan hati untuk mereka melangkah ke dunia yang kejam. Agar mereka dapat bertahan dengan akal dan iman mereka. Juga menjadi seorang istri yang mampu menjadi tirai bagi hati suaminya, dan sumber kekuatannya ketika dunia tidak berpihak padanya.

Saat ini saya masih berjalan dan terus berjalan. Namun kesadaran akan apa yang sebenarnya saya inginkan ini akhirnya memberi saya sebuah tujuan untuk melangkah; dan semua itu benar-benar hanya berawal dari pernyataan sederhana, bahwa saya hanya bekerja, bukan berkarir.
Cheers,

-NaY-

For my husband who seems so tired to ease my galauness ๐Ÿ˜€

Cerita seorang Mbak Y

Sering gw berpikir kalo hidup gw itu kok kayaknya susaaaah banget ya. Ada aja masalah, ada aja beban yang rasanya ga selesai-selesai. Dan satu hal, jemuran tetangga kok rasanya selalu lebih kinclong sih? ๐Ÿ˜€ Tapi, itu dulu… (ah yeah I know it sounds so lebay). But seriously, gw dapet pelajaran berarti banget tentang bagaimana IKHLAS menghadapi apapun yang telah TUHAN tetapkan untuk kita. Memang nggak auto-ikhlas dalam sekejap sih, tapi proses menuju ikhlas itu memang bertahap. Gw mau cerita tentang salah satu tahapan penting bagaimana gw mulai menjalani proses mengikhlaskan segala sesuatu dalam hidup gw.

Quite some time ago, gw lagi dalam masa bosan, jenuh banget sama segalagalanya, semuamuanya. Gw jenuh sama hidup gw, sama kerjaan gw, sama rutinitas gw, sama cara gw berpikir, sama celengan di meja gw, bahkan sama lontong sayur Bang Dul! Ehm, FYI Bang Dul itu nama pemilik counter sarapan favorit gw tiap hari di kantin kantor yang hargaย  makanannya sangat bersahabat sekali ๐Ÿ˜€ Ah ya, lanjut. Gw jenuh. Gw merasa semua kurang. Gw mau lebih. Lebih segala-galanya. Lebih duit, lebih karir, lebih agama, lebih everything.

But then, di suatu hari yang ohmaigad sangat membosankan, jam setengah delapan pagi di kantor gw udah ada tamu. Gw mikir, “Eh hellooo…semangat banget sih yaaa…gw aja males…” Waktu itu gw nggak menaruh perhatian lebih sama si tamu yang kemudian gw ketahui namanya adalah “Mbak Y”. Ya sebut aja gitu. Mbak Y. Si Mbak Y ini ternyata seorang staf dari kantor lain yang ngurusin administrasi sebuah proyek penelitian asing, dan tentu saja itu urusannya sama kantor gw.

Waktu bergulir sampai jam makan siang. Mbak Y masih stand by di seberang meja gw. Eh kalo sambil duduk berarti jadi sit by-kah? Oh okay nevermind. Hm, gw mulai tertarik. Kenapa-kah harus nunggu selama itu? Apa berkasnya belom beres? Ternyata enggak.ย PracticallyMbak Y udah selesai urusannya sama kantor gw dan dia minta izin untuk numpang nunggu di kantor gw sampe selesai jam makan siang. Gw mikir, aneh. Bukan gw namanya kalo nggak langung interogasi orang yang gw anggap agak aneh. Kemudian terjawab. Mbak Y ini berangkat dari Jogja (iya kantornya di Jogja) pada malam hari sebelumnya naik kereta dan nyampe jam lima pagi di Stasiun Gambir, Jakarta. Kenapa harus cari yang nyampe pagi? Supaya dia nggak perlu keluarin lagi biaya untuk bayar penginapan di Jakarta. Kenapa dia masih di kantor gw sampe jam makan siang? Karena dia nggak tau dimana harus menunggu turunnya matahari Jakarta yang super terik sampai saat nya dia harus beranjak. Dari sini cerita pun bergulir…

Mbak Y ternyata seorang mantan TKI di Korea. Dia berangkat ke Korea waktu umurnya masih 21 tahun dan tinggal disana selama sembilan tahun. Berangkat ke Korea waktu itu bukan pilihan mudah, karena dia harus meninggalkan keluarga dan *ehm* cintanya. Namun apa daya, keluarganya sama sekali bukan keluarga mampu dan dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Maka berangkatlah dia ke Korea. Di Korea, untungnya dia bekerja di pabrik dengan bos yang nggak kejam, alias nggak ada masalah sama sekali untuk masalah pembayaran gaji dan sebagainya. But please note kalo status dia adalah TKI ilegal, lagi-lagi karena keterbatasan dana. Namun musibah memang datang nggak terduga. Enam tahun dia di Korea, tiba-tiba suatu hari terjadi ledakan di pabriknya akibat kecerobohan seorang operator yang nekad mengoperasikan pabrik dalam keadaan mabuk. Dua orang pegawai mengalami luka bakar sangat parah, termasuk Mbak Y. Kulit wajah dan badan hancur, literally. Kemudian untungnya si pemilik pabrik mau bertanggung jawab atas keselamatan pegawainya. Walaupun Mbak Y berstatus pekerja ilegal, pemilik pabrik bersedia mengurus semua dokumen Mbak Y sehingga menjadi pekerja legal agar perawatan pasca kecelakaan itu dapat tercover oleh asuransi dan tidak memberatkan si pekerja. Di titik itu, dengan wajah hancur Mbak Y bahkan sudah tidak berpikir untuk menikah. Pengobatan untuk memperbaiki dampak kecelakaan itu pada tubuhnya menghabiskan waktu sampai tiga tahun. Setelah sembuh (and thank God bedah plastik di Korea itu canggih banget jadi wajahnya nggak tampak terlalu parah), Mbak Y memutuskan untuk pulang ke Indonesia.

Sepulangnya ke Indonesia, pada umur 31 tahun, Mbak Y menyadari bahwa untuk dapat memperbaiki taraf kehidupannya, dia harus memiliki sertifikat legal yang membuktikan kemampuannya dalam berbahasa Korea. Maka dia memutuskan untuk KULIAH. Ah dan wow, dia berhasil masuk ke jurusan bahasa (atau sastra ya?) Korea di sebuah universitas negeri terbaik di Indonesia yang terletak di Jogja. Jatuh bangun, pasti. Tapi dia tetap semangat. Biaya dikumpulkan sedikit demi sedikit sambil menjadi penerjemah untuk siapapun yang butuh penerjemah bahasa Korea.

Saat dia memutuskan untuk kuliah, tak disangka dia juga ketemu mantan pacarnya dulu yang ternyata baru beberapa bulan ditinggal mati istrinya. Si pria, sebut saja Mas W, sudah memiliki satu anak. Namun ternyata cintanya pada Mbak Y tak pernah padam (oke, bahasanya jijik :D). Mas W bersedia menerima Mbak Y dengan segala kondisinya kini dan begitupun Mbak Y, yang mau menerima Mas Y yang statusnya sudah duda beranak satu. Namun memang Mbak Y sayaaang banget sama anak Mas W. Dia bahkan berjuang agar anak Mas W bisa tinggal dengannya (sebelumnya dirawat oleh keluarga almarhum istri Mas W), karena katanya dia melihat anak itu nggak terurus. Dia ikhlas menjadikan anak itu anaknya sendiri yang dia rawat dengan penuh kasih sayang.

Suami Mbak Y, alias Mas W, saat itu bekerja sebagai buruh pabrik di Semarang yang penghasilannya sangat kecil. Akhirnya Mbak Y meminta suaminya untuk tinggal di Jogja agar dapat berkumpul hidup sebagai keluarga dan mengikhlaskan bahwa Mbak Y saja yang bekerja, Mas W diminta untuk merawat anaknya di rumah agar si anak tetap dapat kasih sayang orangtuanya.

Empat tahun berlalu, Mbak Y udah di ujung masa kuliahnya. Sidang sudah beres, tinggal revisi skripsi saja yang belum. Namun lagi-lagi siapa yang bisa menebak datangnya musibah. Ayah Mbak Y meninggal, dan dosen pembimbingnya di kampus berjanji akan memberi kelonggaran administratif agar Mbak Y dapat mengurus keluarganya dulu. Maka pulanglah Mbak Y ke kampung halamannya, bersusah payah dengan kondisi keuangan yang semakin sulit dan mengurusi semua urusan pemakaman ayahnya. Sekembalinya dari kampung halaman, ketika dia kembali ke kampus untuk melanjutkan urusan akademik, ternyata batas waktu pengumpulan hasil revisi skripsi sudah lewat dan sang dosen pembimbing yang berjanji membantu memberi kelonggaran administratif itu pun sudah terlanjur berangkat ke Korea untuk menempuh pendidikan doktoral. Naas. Dosen lain tidak ada yang peduli dengan nasib Mbak Y yang setengah mati menuntaskan kuliahnya dengan keterbatasan biaya. Tidak ada toleransi, peraturan universitas menyatakan dia harus mengulang sidang skripsi itu di semester depan, yang berarti dia juga harus membayar biaya semester dan sidang lagi. Tapi tetap, Mbak Ynggakprotes. Kenapa? Karena…dia dengan polosnya bilang, kalau dia protes ke Dekanat dan ada yang membelanya, kasihan beberapa dosen yang tidak memberi toleransi itu nanti kena masalah di masa depan. Oke sodara, jadi intinya dia nggak tega sama dosen-dosen yang ngotot mendzaliminya.

Mbak Y udah nggak sanggup lagi untuk bayar kuliah satu semester, dan akhirnya dia memutuskan untuk cuti kuliah sementara sambil mengambil pekerjaan yang pada akhirnya membawanya ke kantor gw.

Mendengar semua ceritanya, gw bahkan bingung harus komentar apa. Gw cuma bisa malu. Iya, malu. Mbak Y dengan hidupnya yang dari sudut pandang gw itu…unlivable, bisa ikhlas dan tetap dengan santainya bilang, “Ya…mau gimana mbak. Tapi saya ikhlas-ikhlas aja kok, toh saya masih diberi segala kecukupan sampai hari ini… Nih buktinya saya bisa sampe di Jakarta, mau sekalian cari DVD film Korea, biar bahasa Korea saya tetap terpelihara”.

Ya ampun. Beneran, gw malu. Gw nggak pernah menghadapi kesulitan finansial untuk menempuh pendidikan. Nggak pernah harus jadi TKI supaya keluarga gw tetap bisa makan. Nggak harus mati-mati kerja demi sesuap nasi. Kerjaan gw tinggal duduk di depan komputer, dan setiap bulannya rekening gw akan otomatis terisi.

Cerita hidup Mbak Y benar-benar menampar gw untuk menyukuri apa yang gw punya. Kalau gw selalu melihat ke atas, di atas langit akan selalu masih ada langit.

Dari Mbak Y yang pandangannya sangat teduh itu gw belajar, bahwa untuk bahagia, kuncinya hanya menerima ๐Ÿ™‚

-NaY-

Reasons why women go to work

1. The need of self-actualization.

2. Insufficient financial condition provided by THE MALE.

3. They need their social life. Raising child-taking care of the house-taking care of…everything…sometimes drive women crazy. They need a place where they can escape out of their daily-women-wise activities.

4. Women need to be respected. They get it from their positions in the office.

5. Well educated women need a place to spill out all their thoughts, what’s on their mind.

Kalo buat gw pribadi sih, bekerja merupakan pelarian yang sempurna dari semua masalah pribadi yang terkadang over limit. Seenggaknya dengan bekerja kan gw mikir tapi dibayar. Kalo mikirin masalah pribadi, nggak ada ujungnya, menghabiskan waktu dan tenaga, nggak dibayar pula. Hahahaha… Seringkali gw bingung dengan jalan pemikiran cowok yang pengen istrinya di rumah aja. Do they able to afford everything? Well kayak kata temen gw, “Kalo laki gw Michael Schumacher sih iya, gw bakal leyeh-leyeh aja di rumah.” Hehehe… Now it goes back to women’s insecurity.

Well well well…satu lagi, gw paling males mengandalkan orang lain untuk bertanggung jawab atas hidup gw. Males aja blehh… I always feel that my life is my responsibility, so I HAVE to do anything possible untuk ngisi otak gw, buat modal masa depan ๐Ÿ™‚ I can’t count on other people, right? Siapa yang bisa menjamin kalau a woman gives her whole life to a man, si cowok akan bertanggung jawab atas si cewek seumur hidup? Love does exist, but so does goodbyes. Break ups. Divorces. Hiiiiyyy….ngeri gw kalo bayangin yang gitu-gitu ๐Ÿ˜€

So? The only one you can count on is YOURSELF. Learn, learn, and never stop learning to fill your brain with knowledge. It’s all you have, women ๐Ÿ™‚ย  Anyway, discussion is always welcome ๐Ÿ™‚

-sheepearl-

Beauty vs Personality

Ini nih neverending debate di kalangan wanita. Mana yang lebih penting? Beauty, atau personality? Kaum feminis jelas menempatkan personality dan brain di atas segalanya. Emansipasi wanita! Wanita harus punya otak, harus punya harga diri, nggak cuma mengandalkan fisik untuk mendapatkan sesuatu. Hmm…jadi kepikiran masalah beauty pageant. Banyak yang berkomentar bahwa beauty pageant alias kontes kecantikan itu cuma buat cewek nggak berotak. But ehm…somehow ya, kalo buat gw sih itu dasar aja pandangan sirik. Pada dasarnya wanita itu butuh diakui, butuh dihargai. Mereka sudah diberi gift berupa kecantikan. Tubuh mereka adalah aset mereka, dan menempatkan diri sebagai seorang wanita, ini bukanlah sebuah hal yang gw pungkiri.

Ada satu quote menarik.

Nah sekarang pertanyaan gw, bagaimana bisa langsung “main hati” alias “capture your heart” kalau tertarik aja enggak? ๐Ÿ˜€ Jadi tetep yah, look, beauty, plays the most important role for women. Setelah ada ketertarikan baru diliat personality-nya. Inner beauty-nya. Jadi ya memang sebagai nilai plus. Coba aja pikir, lebih menarik mana seorang profesor bertampang mirip kodok tapi bijak dibandingkan sama seorang pemenang kontes kecantikan dengan intelegensia standar, tapi jutek? Hmm…balik lagi ke masalah beauty pageant, admit it gals, u all want to win the contest right? Hehe…

Jadi ya jangan salahkan kalau salon kecantikan diperuntukkan buat wanita. Segala macem tetek bengek salon, spa, plastic surgery, dan teman-temannya. Jangan salahkan wanita mengeksploitasi tubuh mereka. Wanita butuh diperhatikan. Wanita butuh dimengerti. Wanita juga butuh pengakuan.

Tapi satu hal yang menurut gw nggak adil…kenapa wanita selalu merasa harus merawat diri sedangkan tidak berlaku sebaliknya untuk pria? Tapi (lagi) ya, ah…kapan sih hidup itu adil ๐Ÿ˜€ Semua memang diciptakan dengan kodratnya masing-masing.

One simple conclusion from me, beauty is the most important. Personality plays second. Brain placed third ๐Ÿ˜€

Haha, pemikiran di kala kesamber monyet memang suka agak aneh! Jangan terlalu dipikirin ah ^wink^ Love u all…!!!

-sheepearl-

20 Things Girls Want Guys to Know

Posted in love. Tags: , , . 1 Comment »

20 Years Crisis

No no fellas. This ain’t E.H. Carr’s writing 20 years crisis. Haha…joke anak HI ๐Ÿ˜€ Wadaow. Jaman-jaman akhir tahun gini nih yang bikin tertekan. Banyak banget yak temen gw yang merit-dan-akan-segera merit. Padahal kan dulu gw yang pacarannya lama banget ๐Ÿ˜€ Huahhahaa..curahan hati. Gembel. Gw mau ngasih selamat dulu deh, buat temen-temen gw yang merit, Makki dan Tyas, Kak Anto dan istrinya (lupa siapa namanya), buat yang mau merit, Kimmy dan Robbi, juga buat yang pada lamaran, Indra dan Achi, Boi dan Arif.

Sekedar pesan sponsor, buat temen-temen gw yang masih pada asik pacaran, merit gih sana. Pacaran lama-lama gak menjamin lo bakal merit sama dia juga. Mending cepetan aja ๐Ÿ˜€ Duh, nggak penting. Baiklah, gw cuma lagi mikir aja, emang yah manusia itu nggak ada puasnya. Ada joke yang miris banget antara gw dan sahabat-sahabat terdekat gw. Kita percaya sama Law of Attraction (LoA). The law says that if we really want something dan kita mempersiapkan segala sesuatu untuk menerima kedatangan โ€œsomethingโ€ itu, it will come to us. Nah, untuk masalah menemukan perfect guy nih. Semua kriteria udah kita list. Dengan detail. Dari masalah ganteng sampe cara memperlakukan wanita. Tapi dengan bodohnya kita lupa memasukkan satu kriteria dalam daftar itu: COWOK SINGLE. Huahahahhahahhhโ€ฆ Tidaaaaaaakkkkโ€ฆ!!! :D Gak ada gunanya semua kriteria itu terpenuhi kalo cowok-cowok itu udah jadi punya orang :D

Temen gw yang lain dengan putus asa pernah bilang: All the good guys are either married or dead. Dang! Bener buanget :D Nah waktu gw diskusikan masalah โ€œeither married or deadโ€ ini dengan temen yang lain, akhirnya kita sampai pada kesimpulan, โ€œOoooโ€ฆjadi mungkin itu ya alasan dihalalkannya poligamiโ€ฆkarena cewek baik udah nggak kebagian cowok baik. Cowok baiknya kan udah merit semua :D โ€ Kenapa begitu? Yah karena dalam agama gw disebutkan bahwa โ€œWanita yang baik untuk pria yang baikโ€. Semua akan mendapatkan hal yang setimpal. See now?

Waduh. Waduh. Waduh. Bener-bener 20 years crisis ๐Ÿ˜€

Ayo temans kita berjuang. Tambahin satu lagi di list LoA dan tinggal H2C -harapharapcemas- bakal dateng nggak yaaaa…? Hahaha…

Ciao!

-sheepearl-