Suatu hari, Piyo dipukul temannya di sekolah. Terlepas dari apapun pemicu konfliknya, saya memaklumi saja karena balita masih belajar bagaimana merespon segala hal di sekitar mereka. Terkadang hal-hal yang mereka rasa mereka sampaikan dalam bentuk tangisan, diam, atau respon fisik seperti memukul. Sesampainya di rumah, saya ajak Piyo ngobrol.
“Kakak tadi kenapa di sekolah?”
“My friend was not nice, he hit me and I cried!”
“Loh terus kenapa harus nangis, kan crying will not solve the problem?”
“Because he hurt me and I couldn’t hit him back”
“Why?”
“Because if I hit him, he will hit me again and I hit him again and he hit me again and again!”
Ach so….
Sebersit rasa bangga muncul dari jawaban yang Piyo berikan. Ternyata apa yang selama ini berusaha kami tanamkan, bahwa kekerasan bukanlah cara menyelesaikan konflik, berhasil dimengerti olehnya.
Percakapan kami masih menggantung sampai sana. Saat ini solusi yang bisa kami berikan pada Piyo adalah memberi tau sang teman bahwa menyakiti teman lain itu tidak baik, menjauh dari konflik atau meminta bantuan ibu guru ketika Ia mengalami hal tak menyenangkan dari kawan sebayanya di kelas.
Suatu hari nanti kami akan ajarkan Piyo bagaimana melindungi dirinya ketika mendapat serangan fisik, namun tidak sekarang. Ia harus paham dulu perbedaan antara baik dan tidak baik, dan harus mengerti kapan Ia boleh membela dirinya.
Semoga sifat bijak benar-benar menjadi bagian dari dirinya, sebagaimana kami selipkan doa itu pada namanya. Aamiin…