Guess what?

Cerita seorang Mbak Y

Sering gw berpikir kalo hidup gw itu kok kayaknya susaaaah banget ya. Ada aja masalah, ada aja beban yang rasanya ga selesai-selesai. Dan satu hal, jemuran tetangga kok rasanya selalu lebih kinclong sih? 😀 Tapi, itu dulu… (ah yeah I know it sounds so lebay). But seriously, gw dapet pelajaran berarti banget tentang bagaimana IKHLAS menghadapi apapun yang telah TUHAN tetapkan untuk kita. Memang nggak auto-ikhlas dalam sekejap sih, tapi proses menuju ikhlas itu memang bertahap. Gw mau cerita tentang salah satu tahapan penting bagaimana gw mulai menjalani proses mengikhlaskan segala sesuatu dalam hidup gw.

Quite some time ago, gw lagi dalam masa bosan, jenuh banget sama segalagalanya, semuamuanya. Gw jenuh sama hidup gw, sama kerjaan gw, sama rutinitas gw, sama cara gw berpikir, sama celengan di meja gw, bahkan sama lontong sayur Bang Dul! Ehm, FYI Bang Dul itu nama pemilik counter sarapan favorit gw tiap hari di kantin kantor yang harga  makanannya sangat bersahabat sekali 😀 Ah ya, lanjut. Gw jenuh. Gw merasa semua kurang. Gw mau lebih. Lebih segala-galanya. Lebih duit, lebih karir, lebih agama, lebih everything.

But then, di suatu hari yang ohmaigad sangat membosankan, jam setengah delapan pagi di kantor gw udah ada tamu. Gw mikir, “Eh hellooo…semangat banget sih yaaa…gw aja males…” Waktu itu gw nggak menaruh perhatian lebih sama si tamu yang kemudian gw ketahui namanya adalah “Mbak Y”. Ya sebut aja gitu. Mbak Y. Si Mbak Y ini ternyata seorang staf dari kantor lain yang ngurusin administrasi sebuah proyek penelitian asing, dan tentu saja itu urusannya sama kantor gw.

Waktu bergulir sampai jam makan siang. Mbak Y masih stand by di seberang meja gw. Eh kalo sambil duduk berarti jadi sit by-kah? Oh okay nevermind. Hm, gw mulai tertarik. Kenapa-kah harus nunggu selama itu? Apa berkasnya belom beres? Ternyata enggak. PracticallyMbak Y udah selesai urusannya sama kantor gw dan dia minta izin untuk numpang nunggu di kantor gw sampe selesai jam makan siang. Gw mikir, aneh. Bukan gw namanya kalo nggak langung interogasi orang yang gw anggap agak aneh. Kemudian terjawab. Mbak Y ini berangkat dari Jogja (iya kantornya di Jogja) pada malam hari sebelumnya naik kereta dan nyampe jam lima pagi di Stasiun Gambir, Jakarta. Kenapa harus cari yang nyampe pagi? Supaya dia nggak perlu keluarin lagi biaya untuk bayar penginapan di Jakarta. Kenapa dia masih di kantor gw sampe jam makan siang? Karena dia nggak tau dimana harus menunggu turunnya matahari Jakarta yang super terik sampai saat nya dia harus beranjak. Dari sini cerita pun bergulir…

Mbak Y ternyata seorang mantan TKI di Korea. Dia berangkat ke Korea waktu umurnya masih 21 tahun dan tinggal disana selama sembilan tahun. Berangkat ke Korea waktu itu bukan pilihan mudah, karena dia harus meninggalkan keluarga dan *ehm* cintanya. Namun apa daya, keluarganya sama sekali bukan keluarga mampu dan dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Maka berangkatlah dia ke Korea. Di Korea, untungnya dia bekerja di pabrik dengan bos yang nggak kejam, alias nggak ada masalah sama sekali untuk masalah pembayaran gaji dan sebagainya. But please note kalo status dia adalah TKI ilegal, lagi-lagi karena keterbatasan dana. Namun musibah memang datang nggak terduga. Enam tahun dia di Korea, tiba-tiba suatu hari terjadi ledakan di pabriknya akibat kecerobohan seorang operator yang nekad mengoperasikan pabrik dalam keadaan mabuk. Dua orang pegawai mengalami luka bakar sangat parah, termasuk Mbak Y. Kulit wajah dan badan hancur, literally. Kemudian untungnya si pemilik pabrik mau bertanggung jawab atas keselamatan pegawainya. Walaupun Mbak Y berstatus pekerja ilegal, pemilik pabrik bersedia mengurus semua dokumen Mbak Y sehingga menjadi pekerja legal agar perawatan pasca kecelakaan itu dapat tercover oleh asuransi dan tidak memberatkan si pekerja. Di titik itu, dengan wajah hancur Mbak Y bahkan sudah tidak berpikir untuk menikah. Pengobatan untuk memperbaiki dampak kecelakaan itu pada tubuhnya menghabiskan waktu sampai tiga tahun. Setelah sembuh (and thank God bedah plastik di Korea itu canggih banget jadi wajahnya nggak tampak terlalu parah), Mbak Y memutuskan untuk pulang ke Indonesia.

Sepulangnya ke Indonesia, pada umur 31 tahun, Mbak Y menyadari bahwa untuk dapat memperbaiki taraf kehidupannya, dia harus memiliki sertifikat legal yang membuktikan kemampuannya dalam berbahasa Korea. Maka dia memutuskan untuk KULIAH. Ah dan wow, dia berhasil masuk ke jurusan bahasa (atau sastra ya?) Korea di sebuah universitas negeri terbaik di Indonesia yang terletak di Jogja. Jatuh bangun, pasti. Tapi dia tetap semangat. Biaya dikumpulkan sedikit demi sedikit sambil menjadi penerjemah untuk siapapun yang butuh penerjemah bahasa Korea.

Saat dia memutuskan untuk kuliah, tak disangka dia juga ketemu mantan pacarnya dulu yang ternyata baru beberapa bulan ditinggal mati istrinya. Si pria, sebut saja Mas W, sudah memiliki satu anak. Namun ternyata cintanya pada Mbak Y tak pernah padam (oke, bahasanya jijik :D). Mas W bersedia menerima Mbak Y dengan segala kondisinya kini dan begitupun Mbak Y, yang mau menerima Mas Y yang statusnya sudah duda beranak satu. Namun memang Mbak Y sayaaang banget sama anak Mas W. Dia bahkan berjuang agar anak Mas W bisa tinggal dengannya (sebelumnya dirawat oleh keluarga almarhum istri Mas W), karena katanya dia melihat anak itu nggak terurus. Dia ikhlas menjadikan anak itu anaknya sendiri yang dia rawat dengan penuh kasih sayang.

Suami Mbak Y, alias Mas W, saat itu bekerja sebagai buruh pabrik di Semarang yang penghasilannya sangat kecil. Akhirnya Mbak Y meminta suaminya untuk tinggal di Jogja agar dapat berkumpul hidup sebagai keluarga dan mengikhlaskan bahwa Mbak Y saja yang bekerja, Mas W diminta untuk merawat anaknya di rumah agar si anak tetap dapat kasih sayang orangtuanya.

Empat tahun berlalu, Mbak Y udah di ujung masa kuliahnya. Sidang sudah beres, tinggal revisi skripsi saja yang belum. Namun lagi-lagi siapa yang bisa menebak datangnya musibah. Ayah Mbak Y meninggal, dan dosen pembimbingnya di kampus berjanji akan memberi kelonggaran administratif agar Mbak Y dapat mengurus keluarganya dulu. Maka pulanglah Mbak Y ke kampung halamannya, bersusah payah dengan kondisi keuangan yang semakin sulit dan mengurusi semua urusan pemakaman ayahnya. Sekembalinya dari kampung halaman, ketika dia kembali ke kampus untuk melanjutkan urusan akademik, ternyata batas waktu pengumpulan hasil revisi skripsi sudah lewat dan sang dosen pembimbing yang berjanji membantu memberi kelonggaran administratif itu pun sudah terlanjur berangkat ke Korea untuk menempuh pendidikan doktoral. Naas. Dosen lain tidak ada yang peduli dengan nasib Mbak Y yang setengah mati menuntaskan kuliahnya dengan keterbatasan biaya. Tidak ada toleransi, peraturan universitas menyatakan dia harus mengulang sidang skripsi itu di semester depan, yang berarti dia juga harus membayar biaya semester dan sidang lagi. Tapi tetap, Mbak Ynggakprotes. Kenapa? Karena…dia dengan polosnya bilang, kalau dia protes ke Dekanat dan ada yang membelanya, kasihan beberapa dosen yang tidak memberi toleransi itu nanti kena masalah di masa depan. Oke sodara, jadi intinya dia nggak tega sama dosen-dosen yang ngotot mendzaliminya.

Mbak Y udah nggak sanggup lagi untuk bayar kuliah satu semester, dan akhirnya dia memutuskan untuk cuti kuliah sementara sambil mengambil pekerjaan yang pada akhirnya membawanya ke kantor gw.

Mendengar semua ceritanya, gw bahkan bingung harus komentar apa. Gw cuma bisa malu. Iya, malu. Mbak Y dengan hidupnya yang dari sudut pandang gw itu…unlivable, bisa ikhlas dan tetap dengan santainya bilang, “Ya…mau gimana mbak. Tapi saya ikhlas-ikhlas aja kok, toh saya masih diberi segala kecukupan sampai hari ini… Nih buktinya saya bisa sampe di Jakarta, mau sekalian cari DVD film Korea, biar bahasa Korea saya tetap terpelihara”.

Ya ampun. Beneran, gw malu. Gw nggak pernah menghadapi kesulitan finansial untuk menempuh pendidikan. Nggak pernah harus jadi TKI supaya keluarga gw tetap bisa makan. Nggak harus mati-mati kerja demi sesuap nasi. Kerjaan gw tinggal duduk di depan komputer, dan setiap bulannya rekening gw akan otomatis terisi.

Cerita hidup Mbak Y benar-benar menampar gw untuk menyukuri apa yang gw punya. Kalau gw selalu melihat ke atas, di atas langit akan selalu masih ada langit.

Dari Mbak Y yang pandangannya sangat teduh itu gw belajar, bahwa untuk bahagia, kuncinya hanya menerima 🙂

-NaY-

The girl who turns 24

Me is thanking God for a blessed day she just had.
Me, turning 24 today.
Me, is growing up (of course).
Me, having one of the best days of her life today. Just today.
Me, find it difficult to complain about anything today.
Me, having best people in the world as best friends.
Me, having bunch of adorable people as family.
Me, got the most beautiful birthday present today: TOGETHERNESS.
And the most important thing Me-Girl would like to feel grateful about is…
Having him beside her, the guy who tried his best to make that girl’s day.

-I Love the Universe!-

What defines maturity?

For me, someone is mature enough when he/she can accept the consequences of his/her decisions. Decisions proceeded with lots of thoughts and contemplations. Decisions that are not instant. I’m trying to be mature in that way of thinking. I know I have made decisions that could possibly lead my life into a tough journey, but I’m sure that I can face the world 🙂 (I’m saying this with a very wide smile across my face :D). I might lose all the facilities. I might stepping out of my comfort zone. But this is my life.

Welcoming a new stage of life.

Tulisan ini dibuat karena sudah terlalu banyak yang bilang gw childish hahaha… 😀 Nanana…I’m 23, bukan anak kecil lagi *wink*

-with love, NaY-

Posted in thoughts. Tags: . 3 Comments »