Menjelang saatnya pulang

Saya cinta Indonesia. Dari relung hati terdalam, saya cinta.

Satu tahun terakhir ini saya menatap Indonesia dari jauh, memperhatikan, namun tak berkomentar. Apa yang saya rasa? Sedih. Iya, sedih.

Kawan, saudara, saling menghujat. Semua berdalihkan kebebasan berpendapat dan merasa paling benar. Apakah kita sebebas itu?
Saya merindukan bangsa Indonesia yang ramah, yang peduli dengan perasaan orang lain, yang senantiasa bijak mengeluarkan pendapat. Bangsa Indonesia yang berpikir ke depan dan sibuk membenahi diri sendiri sebelum mencela dunia. Bangsa Indonesia yang santun bertutur kata. Bangsa Indonesia yang dapat hidup berdampingan dalam damai tanpa memandang siapa dia, siapa keluarganya, dari mana dia, berapa banyak hartanya, apa agamanya.

Tak sampai satu tahun lagi waktu saya memandang dari jauh, dan saya akan kembali kesana. Ke tanah yang saya cintai. Bukan, bukan tanah tempat saya dilahirkan tapi tempat dimana hati saya berlabuh. Rasa rindu seringkali menerpa, tapi rasa takut semakin mengambil tempat. Iya, saya takut menghadapi kenyataan bahwa Indonesia saya sudah beranjak entah ke arah mana, bergeser jauh dari visi utopis saya.

Saya takut tidak dapat menerima kenyataan bahwa kesenjangan sosial semakin tinggi dan tak ada lagi yang peduli dengan itu. Bangsa saya yang sudah tak peduli, sibuk berbagi foto-foto kegiatan khas kalangan berada di media sosial sementara masih banyak saudaranya yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar.
Hiks, lebih-lebih lagi mengingat betapa mudah bangsa saya mencela pemimpin dan pemerintahnya sendiri. Bukankah akan lebih baik membenahi diri sendiri dulu, kawan? Biar bagaimanapun, ini sistem yang kita agungkan. Demokrasi. Kita yang meminta, sudah lupakah? Betapa nyaris dua windu yang lalu kita berteriak untuk menjatuhkan beliau yang disebut penguasa lalim, sang diktator, sang koruptor, dan entah apa lagi sebutan yang melekat padanya.
Sudahlah kawan, tak lelahkah kita saling mencela dan sibuk membuktikan diri paling hebat, paling berada, paling berkuasa? Sudah lupakah kita bahwa esensi keberadaan kita sebagai manusia akan dipertanggungjawabkan nanti di hadapan Yang Maha Kuasa? Bukan, bukan manusia lain yang akan menilai siapa kita, tapi Dia, yang membuatmu ada.

Ayo kawan, ayo berubah menjadi sedikit lebih sensitif. Mari lihat sekitarmu. Kalau kita kebetulan diberi kelebihan rezeki, mendapat kesempatan bermukim di lingkungan khusus orang berada, look beyond! Lihat apa yang ada di balik pagar tinggimu, di balik dinding beton perumahanmu. Sebelum kita berpikir memamerkan makanan mewah di atas meja dan memamerkan foto perjalanan keliling dunia, ingatlah bahwa masih ada saudara kita yang harus mengais tempat sampah demi mendapat sedikit sisa makanan. Masih ada saudara kita yang harus berjalan kaki dari satu kota ke kota lain untuk berjualan hasil kebunnya yang tak seberapa.

Namun tak berarti yang kaya, yang berada, selalu salah dan yang (merasa) kecil selalu benar. Yang bermotor dan melawan arus, memotong jalur, apakah selalu benar? Yang mengambil milik orang lain dengan alasan memenuhi kebutuhan hidup, apakah itu benar?
Ayo kawan, ayo kita lihat diri kita sendiri. Saya percaya kita semua memimpikan hal yang sama, tempat hidup yang nyaman dan damai, dimana kita bisa merasa aman tak kekurangan apapun. Semua itu mungkin! Kalau kita mau berubah.

Utopia kita ada di depan mata kalau kita senantiasa berusaha menjadi levih baik. Juga kalau kita punya prinsip hidup berbangsa. Bangsa kita unik kawan, satu-satunya bangsa di dunia yang berasal dari banyak etnik berbeda namun bicara bahasa yang sama, dan mengaku sebagai satu entitas. Maka berhentilah berkaca pada bangsa lain. Apa yang baik bagi mereka, belum tentu yang terbaik bagi kita. Kebebasan berpendapat yang dikampanyekan bangsa lain, apakah akan nyaman apabila diterapkan pada kita? Begitu pula keseragaman hidup yang diusung-usung oleh bangsa yang lain lagi, tepatkah untuk kita? Tidak, karena kita adalah kita, bangsa Indonesia. Bangsa yang suka bermusyawarah, bangsa yang menghargai perbedaan pendapat namun tak pernah memaksakan apapun pada saudaranya.

Satu hal yang perlu kita ingat, kita bangsa yang bebas! Tak perlulah kita menjiplak apa yang bangsa lain lakukan. Apabila ada hal baik yang dapat kita pelajari, ambillah. Tapi sampai situ saja. Sisanya, ingatlah bahwa bangsa kita memiliki karakter yang luar biasa, bangsa yang memiliki toleransi tinggi dan dapat hidup berdampingan dalam damai.

Banggalah bahwa kita…bangsa Indonesia.

Nasionalisme? nanti dulu…

Pagi ini seperti biasa dalam perjalanan ke kantor gw nyalain radio. Ada satu hal yang bikin gw miris setiap dengerin siaran radio jaman sekarang, khususnya yang targetnya anak muda. Hampir semua penyiarnya lebih banyak menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Miris banget. Sebegitu nggak punya identitasnya-kah anak muda kita? Yah…di umur gw yang hampir tidak muda lagi ini *mulai agak pengen sadar umur :D* Terus terang, dulu waktu gw masih SMA, awal-awal kuliah, gw anggap itu keren. Penyiarnya ngomong campur aduk, kan jadi gaya gituhh. Tapi kok semakin kesini bahasa Indonesianya makin juaaarang ya? Bahkan pagi ini di channel nomor tiga settingan radio mobil gw (tanpa harus menyebutkan radio apa itu), gw dengerin beberapa menit sampe sebelum si penyiar masang lagu, dia ngomong seratus persen bahasa Inggris cuuuyyyy…ampun deh…kebarat-baratan sekali, dan maaf kalau gw bilang, dalam bahasa Inggris istilahnya bule wannabe getoooh…hehe.

Hmm padahal kalo dipikir-pikir yah, si bule-bule sendiri sebenernya gak gitu-gitu amat sama bahasa Inggris. Contoh yang paling keliatan, liat orang Jerman. Mereka jelas dari ras Kaukasian, berkulit putih-hidung mancung-tinggi besar-pokoknya kompeni banget lah! 😀 Tapi mereka nggak pake bahasa Inggris, bukan karena mereka nggak bisa, tapi lebih karena mereka nggak mau. Kalo nggak terpaksa mereka nggak akan pake bahasa Inggris, bahkan orang asing yang dateng ke Jerman seenggaknya harus bisa bahasa Jerman dasar supaya bisa survive, kalo nggak mau jadi kayak kambing tersesat. Padahal nih yaaa…sebagai info aja, bahasa Inggrisnya orang Jerman itu…gileee…sempurna! Secara pribadi gw harus katakan bahwa bahasa Inggrisnya orang Jerman lebih bangus daripada bahasa Inggrisnya orang Amrik hahahha. Terus nih, coba liat negara-negara Eropa yang lain, Perancis, Italia, Spanyol. Sebut aja deh. Mereka lebih bangga dengan bahasa mereka sendiri. Coba juga liat Malaysia, Filipina, Brazil, India. Negara-negara yang sedang nsangat berkembang. Mereka juga nggak memuja bahasa orang-orang bule itu segitu-gitunya.

Hmm yah…lagi-lagi ini pandangan pribadi. Buat gw, maju atau enggaknya suatu bangsa itu tergantung sama anak mudanya. Mau nggak mereka mencintai negrinya sendiri, bahasanya sendiri, budayanya sendiri, mau sebobrok apapun bangsa itu. Gw capek mendengar anak muda bangsa ini yang sibuk sama demo antipemerintah, menghujat kapitalisme dan mendewakan demokrasi, tanpa berbuat apa-apa untuk negerinya. Maksud gw, nggak usahlah muluk-muluk. Biarkan saja dunia ini berputar apa adanya, tapi berbuatlah sesuatu yang positif, seenggaknya untuk diri sendiri. Misalnya nih, daripada menghabiskan waktu untuk demo kesana kemari (demo mengkritik pemerintah, bukan demo masak apalagi demo Tupperware tentunya), kan mendingan kuliah yang bener, lulus cepet, nilainya bagus, dapet beasiswa, berbakti sama orang tua dan akhirnya bisa berbuat sesuatu untuk masnyarakat. Tapi ya, sangat disayangkan, yang terjadi saat ini, anak muda kita sudah nggak berpikir tentang nasionalisme. Untuk apa nasionalisme? Yang penting kan…gaya. ^0^

Sekarang gw cuma bisa berdoa untuk masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini, dan semoga masih ada sepercik rasa nasionalisme di dalam diri setiap anak muda Indonesia. Oh iya, mulai saat ini gw akan berusaha menulis dalam bahasa Indonesia. Doakan saya yaaaaa. Semangaaaaat!!

-NaY-

Tulisan dalam edisiiiiii jreng jreng jreeeeeng!!! NASIONALIIIISS!! 😀 😀 😀