Memukul itu tidak baik…

Suatu hari, Piyo dipukul temannya di sekolah. Terlepas dari apapun pemicu konfliknya, saya memaklumi saja karena balita masih belajar bagaimana merespon segala hal di sekitar mereka. Terkadang hal-hal yang mereka rasa mereka sampaikan dalam bentuk tangisan, diam, atau respon fisik seperti memukul. Sesampainya di rumah, saya ajak Piyo ngobrol.

“Kakak tadi kenapa di sekolah?”
“My friend was not nice, he hit me and I cried!”
“Loh terus kenapa harus nangis, kan crying will not solve the problem?”
“Because he hurt me and I couldn’t hit him back”
“Why?”
“Because if I hit him, he will hit me again and I hit him again and he hit me again and again!”

Ach so….

Sebersit rasa bangga muncul dari jawaban yang Piyo berikan. Ternyata apa yang selama ini berusaha kami tanamkan, bahwa kekerasan bukanlah cara menyelesaikan konflik, berhasil dimengerti olehnya.

Percakapan kami masih menggantung sampai sana. Saat ini solusi yang bisa kami berikan pada Piyo adalah memberi tau sang teman bahwa menyakiti teman lain itu tidak baik, menjauh dari konflik atau meminta bantuan ibu guru ketika Ia mengalami hal tak menyenangkan dari kawan sebayanya di kelas.

Suatu hari nanti kami akan ajarkan Piyo bagaimana melindungi dirinya ketika mendapat serangan fisik, namun tidak sekarang. Ia harus paham dulu perbedaan antara baik dan tidak baik, dan harus mengerti kapan Ia boleh membela dirinya.

Semoga sifat bijak benar-benar menjadi bagian dari dirinya, sebagaimana kami selipkan doa itu pada namanya. Aamiin…

Mengapa kami ingin Piyo mandiri

…..karena kami tak tau berapa sisa umur kami

Iya, kami ingin Piyo sesegera mungkin bisa bertanggungjawab atas dirinya sendiri dan sesedikit mungkin menjadi beban bagi orang lain ketika kami sudah tak ada.

Kami, orangtuanya, tentu saja berdoa agar kami diberi kesehatan dan umur panjang untuk menjaga amanah Tuhan yang satu ini. Manusia bisa berkehendak namun Tuhan-lah yang punya kuasa. Maka persiapkanlah segala sesuatunya selagi mampu, tak salah kan? 🙂

Ketika ingin menonton bioskop dan ada titipan Tuhan yang harus dijaga…

Saya takjub melihat banyaknya anak kecil (bayi, balita, dan anak2) yang dibawa orangtuanya menonton Warkop DKI Reborn. Please Parents, ada alasan kenapa film ini diberi rating 17+. Simak bahasa yang digunakan, humor dewasa yang disajikan, serta adegan2 tak layak tonton bagi anak lainnya.

Otak anak seperti spons, mereka belajar dari apa yang disajikan di sekitar mereka. Maukah Anda melihat anak Anda tumbuh dengan menganggap bermain perempuan, berkata kasar, dan bertindak tanpa berpikir ttg tanggung jawab – sebagai hal yang wajar? Tolong, bijaklah dalam memilih tontonan utk anak.

Memang terkadang orangtua juga butuh istirahat dari kegiatan parenting yang menjemukan dan terasa tanpa akhir. Ingin menonton film terkini? Bisa kok, kami sering lakukan. Ada beberapa alternatif yg bisa dilakukan tanpa harus membawa anak ke dalam ruangan bioskop dan ikut menonton.

Pertama, bergantian shift nonton dan menjaga anak dgn suami. Jadi nontonnya sendiri2 gitu? Iya. Memang terasa tidak ideal, tapi pilih mana, berkorban nonton bioskop sendirian atau anak tumbuh belajar mengatai orang lain bodoh adalah hal wajar?

Kedua, titipkan anak ke sanak saudara ketika orangtua ingin menonton berdua. Ini hanya bisa dipraktekkan apabila tinggal dekat dengan keluarga besar.

Ketiga, tunggu saja sampai versi DVD-nya keluar dan tonton berdua dengan pasangan ketika anak sudah tidur. Nggak kekinian dong? Lho..balik lagi pilih mana coba…

Tenang Parents, anak-anak tidak akan selamanya menjadi anak-anak. Segera, mereka akan beranjak dewasa dan Anda akan bebas melakukan apapun yang Anda mau. Ingatlah bahwa anak adalah titipan Tuhan untuk Anda… 🙂

However, apart from that, it is actually pretty good. We had a pretty good laugh throughout the movie 🙂

————-
Sebuah catatan dari pasangan yang pernah tinggal jauh dari keluarga besar (iya, semacam beda benua gitu sama keluarga), membesarkan anak tanpa bantuan siapa-siapa, dan tetap bisa menikmati film-film terkini tanpa harus mengorbankan anak. Cheers!

Menjelang saatnya pulang

Saya cinta Indonesia. Dari relung hati terdalam, saya cinta.

Satu tahun terakhir ini saya menatap Indonesia dari jauh, memperhatikan, namun tak berkomentar. Apa yang saya rasa? Sedih. Iya, sedih.

Kawan, saudara, saling menghujat. Semua berdalihkan kebebasan berpendapat dan merasa paling benar. Apakah kita sebebas itu?
Saya merindukan bangsa Indonesia yang ramah, yang peduli dengan perasaan orang lain, yang senantiasa bijak mengeluarkan pendapat. Bangsa Indonesia yang berpikir ke depan dan sibuk membenahi diri sendiri sebelum mencela dunia. Bangsa Indonesia yang santun bertutur kata. Bangsa Indonesia yang dapat hidup berdampingan dalam damai tanpa memandang siapa dia, siapa keluarganya, dari mana dia, berapa banyak hartanya, apa agamanya.

Tak sampai satu tahun lagi waktu saya memandang dari jauh, dan saya akan kembali kesana. Ke tanah yang saya cintai. Bukan, bukan tanah tempat saya dilahirkan tapi tempat dimana hati saya berlabuh. Rasa rindu seringkali menerpa, tapi rasa takut semakin mengambil tempat. Iya, saya takut menghadapi kenyataan bahwa Indonesia saya sudah beranjak entah ke arah mana, bergeser jauh dari visi utopis saya.

Saya takut tidak dapat menerima kenyataan bahwa kesenjangan sosial semakin tinggi dan tak ada lagi yang peduli dengan itu. Bangsa saya yang sudah tak peduli, sibuk berbagi foto-foto kegiatan khas kalangan berada di media sosial sementara masih banyak saudaranya yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar.
Hiks, lebih-lebih lagi mengingat betapa mudah bangsa saya mencela pemimpin dan pemerintahnya sendiri. Bukankah akan lebih baik membenahi diri sendiri dulu, kawan? Biar bagaimanapun, ini sistem yang kita agungkan. Demokrasi. Kita yang meminta, sudah lupakah? Betapa nyaris dua windu yang lalu kita berteriak untuk menjatuhkan beliau yang disebut penguasa lalim, sang diktator, sang koruptor, dan entah apa lagi sebutan yang melekat padanya.
Sudahlah kawan, tak lelahkah kita saling mencela dan sibuk membuktikan diri paling hebat, paling berada, paling berkuasa? Sudah lupakah kita bahwa esensi keberadaan kita sebagai manusia akan dipertanggungjawabkan nanti di hadapan Yang Maha Kuasa? Bukan, bukan manusia lain yang akan menilai siapa kita, tapi Dia, yang membuatmu ada.

Ayo kawan, ayo berubah menjadi sedikit lebih sensitif. Mari lihat sekitarmu. Kalau kita kebetulan diberi kelebihan rezeki, mendapat kesempatan bermukim di lingkungan khusus orang berada, look beyond! Lihat apa yang ada di balik pagar tinggimu, di balik dinding beton perumahanmu. Sebelum kita berpikir memamerkan makanan mewah di atas meja dan memamerkan foto perjalanan keliling dunia, ingatlah bahwa masih ada saudara kita yang harus mengais tempat sampah demi mendapat sedikit sisa makanan. Masih ada saudara kita yang harus berjalan kaki dari satu kota ke kota lain untuk berjualan hasil kebunnya yang tak seberapa.

Namun tak berarti yang kaya, yang berada, selalu salah dan yang (merasa) kecil selalu benar. Yang bermotor dan melawan arus, memotong jalur, apakah selalu benar? Yang mengambil milik orang lain dengan alasan memenuhi kebutuhan hidup, apakah itu benar?
Ayo kawan, ayo kita lihat diri kita sendiri. Saya percaya kita semua memimpikan hal yang sama, tempat hidup yang nyaman dan damai, dimana kita bisa merasa aman tak kekurangan apapun. Semua itu mungkin! Kalau kita mau berubah.

Utopia kita ada di depan mata kalau kita senantiasa berusaha menjadi levih baik. Juga kalau kita punya prinsip hidup berbangsa. Bangsa kita unik kawan, satu-satunya bangsa di dunia yang berasal dari banyak etnik berbeda namun bicara bahasa yang sama, dan mengaku sebagai satu entitas. Maka berhentilah berkaca pada bangsa lain. Apa yang baik bagi mereka, belum tentu yang terbaik bagi kita. Kebebasan berpendapat yang dikampanyekan bangsa lain, apakah akan nyaman apabila diterapkan pada kita? Begitu pula keseragaman hidup yang diusung-usung oleh bangsa yang lain lagi, tepatkah untuk kita? Tidak, karena kita adalah kita, bangsa Indonesia. Bangsa yang suka bermusyawarah, bangsa yang menghargai perbedaan pendapat namun tak pernah memaksakan apapun pada saudaranya.

Satu hal yang perlu kita ingat, kita bangsa yang bebas! Tak perlulah kita menjiplak apa yang bangsa lain lakukan. Apabila ada hal baik yang dapat kita pelajari, ambillah. Tapi sampai situ saja. Sisanya, ingatlah bahwa bangsa kita memiliki karakter yang luar biasa, bangsa yang memiliki toleransi tinggi dan dapat hidup berdampingan dalam damai.

Banggalah bahwa kita…bangsa Indonesia.

Amanahku…

DSC_0623Ketika kamu melangkah keluar dari kamar tidur yang gelap, dan aku sudah siap untuk menggendongmu kembali, berencana memaksamu untuk segera tidur karena kita sudah melalui hari yang penuh aktivitas dan melelahkan….

Aku kehilangan kata-kata, ketika menemukanmu sedang duduk di anak tangga paling bawah dengan sebuah buku di pangkuan. Ternyata kamu sedang mencari cahaya, terlalu gelap untuk membaca di kamar. Seorang anak yang bahkan belum genap berumur satu-setengah tahun.

Ah…sebegitu besar rasa sukamu terhadap buku. Kamu bahkan belum bisa membaca!

Namun aku yakin, kamu akan jadi anak hebat. Kamu akan bisa melihat dunia dengan benda yang ada di tanganmu itu. Buka pikiranmu, gali pengetahuan sebanyak-banyaknya. Kagumi ciptaan Tuhan.

Terus belajar nak, baca sebanyak yang kamu bisa. Tak ada alasan untuk berhenti. Aku menyayangimu…wahai titipan Tuhan…

Semoga aku dapat menjaga amanah yang sudah diberikan untuk mendidikmu. Amanahku, duniaku.

 

 

 

 

Posted in thoughts. Tags: . 2 Comments »

The time will come…

Things might not happen as we wanted, but I believe, and always believe that everything comes in the right time.

Perhaps the time is not right or it is just not for us.

Perhaps, God is giving us some more time to prepare.

Prepare for everything.

I am one-million-percent sure about this!

😀

Tentang menikah dan membangun keluarga

Menikah itu tidak berhenti pada acara resepsi satu hari. Hari pernikahan adalah starting point, bukan finish line sepenggal kisah cinta. Menikah itu gampang? Memang. Menikah itu sulit? Juga memang. Semua tergantung niat. Menikah itu gampang selama ada niat untuk menyempurnakan agama, sesimpel itu. Menikah itu sulit ketika untuk menikah sebuah keluarga memaksakan diri untuk menggelar pesta pernikahan besar-besaran untuk menjunjung tinggi status sosial. Sulit ketika seorang wanita mensyaratkan sejuta hal untuk si calon suami, biasanya sih ada standar “kemapanan” tertentu. Jadi yang sulit? Ya…maintaining gengsi itu. Menikah itu mahal di gengsi. Serius deh.

Buat saya, menikah itu ya gampang-gampang susah gitu deh. Ternyata gampang ketika semua niatan saya kembalikan pada Sang Pencipta, berserah bahwa segala yang terjadi dan akan terjadi pada saya adalah sudah menjadi ketetapanNya, pun dengan keputusan untuk menikah dan keyakinan bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hambaNya sendirian ketika datang suatu masalah. Setelah keyakinan itu saya dapatkan (melalui proses yang panjang tentunya), rasanya menikah plong-plong aja tuh. Tantangan buat saya dalam langkah menuju pernikahan adalah ketika saya harus belajar melepaskan diri dari kotak nyaman saya, dimana saya selalu merasa bisa mengandalkan orangtua untuk setiap masalah yang saya hadapi. Katakan saja dari mulai mengurus KTP sampai ketika gaji selalu kurang untuk membiayai gaya hidup, saya selalu bisa kembali pada orangtua.

Beruntungnya saya mengenal (waktu itu) calon suami yang setengah memaksa saya untuk beranjak dewasa dan keluar dari kotak kenyamanan itu.  Setengah mati memang pada awalnya, saya harus merasa cukup dengan penghasilan saya sendiri dan berhenti meminta pada orangtua. Namun ternyata di situlah ujian kedewasaan. Dewasa berarti membuat keputusan rasional. Begitu pula ketika serius memantapkan langkah untuk menikah, kami berdua sudah berkomitmen untuk menyiapkan bukan hanya kehidupan kami berdua namun juga untuk anak kami nanti. Kami sudah memikirkan bagaimana berjuang berdua mencicil rumah, menyisihkan untuk kebutuhan pribadi, menyiapkan tabungan anak, sampai apa yang harus kami lakukan ketika kami berselisih paham. Pengalaman kami masing-masing di masa lalu mengajarkan kami berdua untuk tidak hanya mempersiapkan diri untuk hari-hari senang, namun yang lebih penting adalah mempersiapkan untuk hari-hari gelap dan mendung 🙂

Satu hal lagi yang seringkali saya lihat dan sesali setiap kali melihat ke sekitar adalah masih banyak wanita yang berpikir bahwa tanggung jawab menghidupi dan menjaga keutuhan sebuah keluarga adalah sepenuhnya tanggung jawab suami. Masih banyak wanita yang berada di sekitar saya menganggap bahwa suami mereka HARUS bisa memenuhi segala kebutuhan mereka dan keluarganya entah bagaimanapun caranya. Padahal tidak sedikit dari wanita-wanita itu yang punya pekerjaan di luar rumah dan sebenarnya memiliki penghasilan selain apa yang suami mereka berikan. Untuk saya hal seperti itu sangat tidak rasional. Keluarga dibangun atas dasar kesepakatan, sejak memutuskan untuk menikah sampai memiliki anak; dan merupakan tanggung jawab kedua belah pihak untuk memelihara itu semua. Sungguh saya tidak habis pikir dengan wanita-wanita yang masih hidup dengan prinsip “uangku ya uangku, tapi uangmu pasti uangku juga“. Tabungan pendidikan anak misalnya, kalau memang sang istri bekerja maka sudah selayaknya ia ikut menyumbang sebagai pengganti ketidakhadirannya menjadi seorang caretaker rumah tangga. Begitu pula dengan kebutuhan sehari-hari. Kalau memang gaji suami yang sanggup diberikan kepada istrinya hanya sejumlah “x”, maka sang istri seharusnya sebisa mungkin mengelola jumlah “x’ itu untuk mengelola rumah tangga, dan apabila memang kurang mencukupi, maka tidak ada salahnya ia ikut berusaha mencari penghasilan tambahan untuk keluarganya, bukannya memaksa dan menekan suami dengan segala daya upaya untuk mampu memberikan “xy”.  Percaya deh, masalah rezeki itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.

Jadi? Menikahlah, karena Allah 🙂 bukan karena status sosial; dan berkomitmenlah kepada keluargamu, bukan kepada status sosialmu 🙂

Cheers!

NB: Thanks untuk the most amazing husband yang sudah mengajarkan saya tentang hidup dan perjuangan. Terima kasih untuk soon-to-come Baby Peanut kita. Terima kasih untuk semuanya :*

Bekerja, bukan berkarir

Itu akhirnya yang menjadi pilihan saya, Ya, sejak semalam. Maksudnya? Okay, let’s start sorting things out…

Pertama, berkarir berarti mendedikasikan waktu yang dimiliki untuk membangun “kedigdayaan” atau magnificency (?) di lingkungan profesional. Banyak yang positif disini, yang utama apa lagi kalau bukan penghasilan; dimana berkarir seharusnya berkorelasi positif dengan pemasukan. Pemasukan lebih berarti “lebih” juga untuk segalanya. Mampu menyekolahkan anak di sekolah bergengsi, memakai mobil-mobil keluaran terbaru, tidak memiliki kekhawatiran atas konsep kesejahteraan.

Kedua, jejaring alias networking. Berkarir berarti membangun jejaring untuk semakin mengembangkan diri ke prospek karir yang diinginkan. That takes your time, too. Membangun jejaring, entah disadari atau tidak, jauh lebih efektif dilakukan di luar jam kerja formal. Ngafe bareng, dugem, membangun komunitas. Kedekatan personal dengan relasi akan lebih terbangun dengan cara itu dibandingkan dengan meetingberjam-jam di sebuah ruang rapat membosankan.

Perlu saya akui, saya sudah mencoba untuk berkarir. Perjalanan yang dimulai sejak beberapa tahun yang lalu, dimana idealisme saya mengatakan bahwa kemampuan otak ini tidak boleh disia-siakan. Sebuah tekad bahwa “SAYA HARUS MENJADI SESEORANG”.

Namun apa yang saya temukan? Di balik kondisi finansial yang cukup mapan, ternyata begitu banyak yang dikorbankan. Saya tidak bisa menemukan kebahagiaan dengan berkarir. Bagaimana bisa? Dengan memutuskan untuk berkarir, maka saya sudah berubah menjadi seorang oportunis yang melihat segala sesuatu sebagai peluang untuk mendongkrak posisi saya secara profesional. Begitu pula dengan orang-orang yang berada di sekitar saya. Dalam kondisi seperti ini, ketulusan menjadi suatu hal yang nyaris mustahil. Pertemanan, keluarga, dan cinta. Oke, singkirkan semua itu jauh-jauh ketika keputusan untuk berkarir sudah dipilih.

Kembali pada keputusan saya, pikiran tentang bekerja dan berkarir ini muncul dalam perjalanan sepulang kerja kemarin malam. Butuh waktu nyaris empat jam untuk menembus kemacetan dari kawasan Tangerang Selatan sampai ke tempat tinggal saya di Kemayoran. Pada saat yang sama, suami saya juga mengalami hal yang sama. Dia harus menempuh perjalanan hampir tiga jam untuk bergerak dari Cilangkap ke Kemayoran. Saat itu saya berpikir, apa yang sebenarnya kami cari? Kami berdua harus berangkat kerja pagi hari, pulang larut malam, sepanjang jalan hanya terdiam di kendaraan masing-masing. Paling banter ada ocehan penyiar radio yang menemani. Buat apa?

Pertanyaan-pertanyaan yang tiada ujung berputar di kepala saya. Satu pertanyaan membawa saya ke pertanyaan lain sampai akhirnya selalu kembali ke pertanyaan yang sama: Apa yang saya cari?

Berangkat dari kehampaan itu, saya berpikir ulang, menelusuri pengetahuan yang sudah saya dapat sampai di usia saya yang menjelang 26 tahun ini. Saya seorang wanita, apa sebenarnya makna saya di dunia ini? Apakah berada dalam posisi karir lebih tinggi, berpenghasilan lebih besar, berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki memberi kepuasan pada diri saya? Ternyata tidak. Ternyata keinginan saya sederhana, sangat sederhana. Saya hanya ingin menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anak saya kelak, yang mampu memberikan bekal pengetahuan dan hati untuk mereka melangkah ke dunia yang kejam. Agar mereka dapat bertahan dengan akal dan iman mereka. Juga menjadi seorang istri yang mampu menjadi tirai bagi hati suaminya, dan sumber kekuatannya ketika dunia tidak berpihak padanya.

Saat ini saya masih berjalan dan terus berjalan. Namun kesadaran akan apa yang sebenarnya saya inginkan ini akhirnya memberi saya sebuah tujuan untuk melangkah; dan semua itu benar-benar hanya berawal dari pernyataan sederhana, bahwa saya hanya bekerja, bukan berkarir.
Cheers,

-NaY-

For my husband who seems so tired to ease my galauness 😀

Ironi kehidupan

Saat sekelompok orang membuang uang ratusan juta untuk sebuah acara sehari, bapak itu mencoba mengais rezeki. Beralas sebuah koran lusuh, bermodalkan beberapa mainan yang harganya tak seberapa.

Ketika kubeli dagangannya, ia menerawang uang yang kuberikan. Bapak itu berucap, “Ini uang berapa dek, bapak nggak bisa lihat. kembaliannya berapa?” seraya menyodorkan beberapa lembar uang lusuh, menyuruhku menghitung sendiri berapa uang kembalian yang seharusnya ia berikan kepadaku. Ah, ternyata ia bahkan sudah sulit melihat.

Ya, ini ibukota. Tak sampai satu kilometer dari Patung Pemuda! Di dalam sebuah kompleks olahraga kebanggaan bangsa ini. Tapi ini kehidupan.

Memang, man jadda wa jada. Siapa yang berupaya sungguh-sungguh, ia yang akan berhasil. Tapi apakah kau lihat bapak itu tidak berupaya dengan sungguh-sungguh?

 

-NaY-

Cerita seorang Mbak Y

Sering gw berpikir kalo hidup gw itu kok kayaknya susaaaah banget ya. Ada aja masalah, ada aja beban yang rasanya ga selesai-selesai. Dan satu hal, jemuran tetangga kok rasanya selalu lebih kinclong sih? 😀 Tapi, itu dulu… (ah yeah I know it sounds so lebay). But seriously, gw dapet pelajaran berarti banget tentang bagaimana IKHLAS menghadapi apapun yang telah TUHAN tetapkan untuk kita. Memang nggak auto-ikhlas dalam sekejap sih, tapi proses menuju ikhlas itu memang bertahap. Gw mau cerita tentang salah satu tahapan penting bagaimana gw mulai menjalani proses mengikhlaskan segala sesuatu dalam hidup gw.

Quite some time ago, gw lagi dalam masa bosan, jenuh banget sama segalagalanya, semuamuanya. Gw jenuh sama hidup gw, sama kerjaan gw, sama rutinitas gw, sama cara gw berpikir, sama celengan di meja gw, bahkan sama lontong sayur Bang Dul! Ehm, FYI Bang Dul itu nama pemilik counter sarapan favorit gw tiap hari di kantin kantor yang harga  makanannya sangat bersahabat sekali 😀 Ah ya, lanjut. Gw jenuh. Gw merasa semua kurang. Gw mau lebih. Lebih segala-galanya. Lebih duit, lebih karir, lebih agama, lebih everything.

But then, di suatu hari yang ohmaigad sangat membosankan, jam setengah delapan pagi di kantor gw udah ada tamu. Gw mikir, “Eh hellooo…semangat banget sih yaaa…gw aja males…” Waktu itu gw nggak menaruh perhatian lebih sama si tamu yang kemudian gw ketahui namanya adalah “Mbak Y”. Ya sebut aja gitu. Mbak Y. Si Mbak Y ini ternyata seorang staf dari kantor lain yang ngurusin administrasi sebuah proyek penelitian asing, dan tentu saja itu urusannya sama kantor gw.

Waktu bergulir sampai jam makan siang. Mbak Y masih stand by di seberang meja gw. Eh kalo sambil duduk berarti jadi sit by-kah? Oh okay nevermind. Hm, gw mulai tertarik. Kenapa-kah harus nunggu selama itu? Apa berkasnya belom beres? Ternyata enggak. PracticallyMbak Y udah selesai urusannya sama kantor gw dan dia minta izin untuk numpang nunggu di kantor gw sampe selesai jam makan siang. Gw mikir, aneh. Bukan gw namanya kalo nggak langung interogasi orang yang gw anggap agak aneh. Kemudian terjawab. Mbak Y ini berangkat dari Jogja (iya kantornya di Jogja) pada malam hari sebelumnya naik kereta dan nyampe jam lima pagi di Stasiun Gambir, Jakarta. Kenapa harus cari yang nyampe pagi? Supaya dia nggak perlu keluarin lagi biaya untuk bayar penginapan di Jakarta. Kenapa dia masih di kantor gw sampe jam makan siang? Karena dia nggak tau dimana harus menunggu turunnya matahari Jakarta yang super terik sampai saat nya dia harus beranjak. Dari sini cerita pun bergulir…

Mbak Y ternyata seorang mantan TKI di Korea. Dia berangkat ke Korea waktu umurnya masih 21 tahun dan tinggal disana selama sembilan tahun. Berangkat ke Korea waktu itu bukan pilihan mudah, karena dia harus meninggalkan keluarga dan *ehm* cintanya. Namun apa daya, keluarganya sama sekali bukan keluarga mampu dan dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Maka berangkatlah dia ke Korea. Di Korea, untungnya dia bekerja di pabrik dengan bos yang nggak kejam, alias nggak ada masalah sama sekali untuk masalah pembayaran gaji dan sebagainya. But please note kalo status dia adalah TKI ilegal, lagi-lagi karena keterbatasan dana. Namun musibah memang datang nggak terduga. Enam tahun dia di Korea, tiba-tiba suatu hari terjadi ledakan di pabriknya akibat kecerobohan seorang operator yang nekad mengoperasikan pabrik dalam keadaan mabuk. Dua orang pegawai mengalami luka bakar sangat parah, termasuk Mbak Y. Kulit wajah dan badan hancur, literally. Kemudian untungnya si pemilik pabrik mau bertanggung jawab atas keselamatan pegawainya. Walaupun Mbak Y berstatus pekerja ilegal, pemilik pabrik bersedia mengurus semua dokumen Mbak Y sehingga menjadi pekerja legal agar perawatan pasca kecelakaan itu dapat tercover oleh asuransi dan tidak memberatkan si pekerja. Di titik itu, dengan wajah hancur Mbak Y bahkan sudah tidak berpikir untuk menikah. Pengobatan untuk memperbaiki dampak kecelakaan itu pada tubuhnya menghabiskan waktu sampai tiga tahun. Setelah sembuh (and thank God bedah plastik di Korea itu canggih banget jadi wajahnya nggak tampak terlalu parah), Mbak Y memutuskan untuk pulang ke Indonesia.

Sepulangnya ke Indonesia, pada umur 31 tahun, Mbak Y menyadari bahwa untuk dapat memperbaiki taraf kehidupannya, dia harus memiliki sertifikat legal yang membuktikan kemampuannya dalam berbahasa Korea. Maka dia memutuskan untuk KULIAH. Ah dan wow, dia berhasil masuk ke jurusan bahasa (atau sastra ya?) Korea di sebuah universitas negeri terbaik di Indonesia yang terletak di Jogja. Jatuh bangun, pasti. Tapi dia tetap semangat. Biaya dikumpulkan sedikit demi sedikit sambil menjadi penerjemah untuk siapapun yang butuh penerjemah bahasa Korea.

Saat dia memutuskan untuk kuliah, tak disangka dia juga ketemu mantan pacarnya dulu yang ternyata baru beberapa bulan ditinggal mati istrinya. Si pria, sebut saja Mas W, sudah memiliki satu anak. Namun ternyata cintanya pada Mbak Y tak pernah padam (oke, bahasanya jijik :D). Mas W bersedia menerima Mbak Y dengan segala kondisinya kini dan begitupun Mbak Y, yang mau menerima Mas Y yang statusnya sudah duda beranak satu. Namun memang Mbak Y sayaaang banget sama anak Mas W. Dia bahkan berjuang agar anak Mas W bisa tinggal dengannya (sebelumnya dirawat oleh keluarga almarhum istri Mas W), karena katanya dia melihat anak itu nggak terurus. Dia ikhlas menjadikan anak itu anaknya sendiri yang dia rawat dengan penuh kasih sayang.

Suami Mbak Y, alias Mas W, saat itu bekerja sebagai buruh pabrik di Semarang yang penghasilannya sangat kecil. Akhirnya Mbak Y meminta suaminya untuk tinggal di Jogja agar dapat berkumpul hidup sebagai keluarga dan mengikhlaskan bahwa Mbak Y saja yang bekerja, Mas W diminta untuk merawat anaknya di rumah agar si anak tetap dapat kasih sayang orangtuanya.

Empat tahun berlalu, Mbak Y udah di ujung masa kuliahnya. Sidang sudah beres, tinggal revisi skripsi saja yang belum. Namun lagi-lagi siapa yang bisa menebak datangnya musibah. Ayah Mbak Y meninggal, dan dosen pembimbingnya di kampus berjanji akan memberi kelonggaran administratif agar Mbak Y dapat mengurus keluarganya dulu. Maka pulanglah Mbak Y ke kampung halamannya, bersusah payah dengan kondisi keuangan yang semakin sulit dan mengurusi semua urusan pemakaman ayahnya. Sekembalinya dari kampung halaman, ketika dia kembali ke kampus untuk melanjutkan urusan akademik, ternyata batas waktu pengumpulan hasil revisi skripsi sudah lewat dan sang dosen pembimbing yang berjanji membantu memberi kelonggaran administratif itu pun sudah terlanjur berangkat ke Korea untuk menempuh pendidikan doktoral. Naas. Dosen lain tidak ada yang peduli dengan nasib Mbak Y yang setengah mati menuntaskan kuliahnya dengan keterbatasan biaya. Tidak ada toleransi, peraturan universitas menyatakan dia harus mengulang sidang skripsi itu di semester depan, yang berarti dia juga harus membayar biaya semester dan sidang lagi. Tapi tetap, Mbak Ynggakprotes. Kenapa? Karena…dia dengan polosnya bilang, kalau dia protes ke Dekanat dan ada yang membelanya, kasihan beberapa dosen yang tidak memberi toleransi itu nanti kena masalah di masa depan. Oke sodara, jadi intinya dia nggak tega sama dosen-dosen yang ngotot mendzaliminya.

Mbak Y udah nggak sanggup lagi untuk bayar kuliah satu semester, dan akhirnya dia memutuskan untuk cuti kuliah sementara sambil mengambil pekerjaan yang pada akhirnya membawanya ke kantor gw.

Mendengar semua ceritanya, gw bahkan bingung harus komentar apa. Gw cuma bisa malu. Iya, malu. Mbak Y dengan hidupnya yang dari sudut pandang gw itu…unlivable, bisa ikhlas dan tetap dengan santainya bilang, “Ya…mau gimana mbak. Tapi saya ikhlas-ikhlas aja kok, toh saya masih diberi segala kecukupan sampai hari ini… Nih buktinya saya bisa sampe di Jakarta, mau sekalian cari DVD film Korea, biar bahasa Korea saya tetap terpelihara”.

Ya ampun. Beneran, gw malu. Gw nggak pernah menghadapi kesulitan finansial untuk menempuh pendidikan. Nggak pernah harus jadi TKI supaya keluarga gw tetap bisa makan. Nggak harus mati-mati kerja demi sesuap nasi. Kerjaan gw tinggal duduk di depan komputer, dan setiap bulannya rekening gw akan otomatis terisi.

Cerita hidup Mbak Y benar-benar menampar gw untuk menyukuri apa yang gw punya. Kalau gw selalu melihat ke atas, di atas langit akan selalu masih ada langit.

Dari Mbak Y yang pandangannya sangat teduh itu gw belajar, bahwa untuk bahagia, kuncinya hanya menerima 🙂

-NaY-