Kisah sebuah balon merah

“Kalau memang rezeki kita, pasti sampai ke kita. Entah dari tangan yang satu atau tangan yang lain.”

Demikian yang selalu dikatakan suami saya. Ini pelajaran yang sangat mengena, setidaknya untuk saya. Sudah lama saya berusaha untuk menerima segala sesuatu yang telah ditetapkan olehNya dengan keikhlasan. Namun kembali lagi pada hakikat saya sebagai manusia, ikhlas adalah ilmu langit (oke, agak lebay), maksudnya, ilmu tingkat tinggi yang nggak bisa dikuasai begitu saja.

And here goes the story…

Beberapa hari yang lalu, di kota tempat kami tinggal sekarang, diadakan International Day; hari festival tahunan untuk menunjukkan keanekaragaman budaya dari berbagai negara berbeda. Kami; tentu saja saya, suami, dan Piyo kecil.

Seperti layaknya festival, dimana-mana ada balon. Piyo kecil, yang benar-benar masih kecil, pastinya tertarik pada balon-balon dekorasi dan balon-balon yang dipegang beberapa anak kecil. Sayangnya sepanjang acara berlangsung saya tidak dapat menemukan tempat dimana balon-balon yang dipegang anak-anak itu dijual dan tidak mungkin juga saya meminta panitia untuk melepas salah satu balon dekorasi untuk diberikan pada Piyo kecil. Tapi tak masalah, Piyo kecil yang super aktif sudah sibuk dengan BANYAK aktivitas lain.

Waktu berlalu dan berakhirlah festival itu. Sambil menunggu suami yang sibuk membereskan stand pameran Indonesia tercinta bersama teman-temannya, saya bermain bersama Piyo. Tiba-tiba saja sebuah balon merah terang terbang ke depan Piyo dan tertiup angin. Piyo kecil langsung bersemangat mengejar balon itu. Balon terbang menjauh, dan Piyo tetap mengejarnya. Dari arah berlawanan, seorang anak mendekati balon yang sedang dikejar Piyo. Anak itu bertanya pada saya, “Is it hers?” Saya yang tidak biasa berbohong agak bimbang untuk menjawab, memang balon itu BUKAN punya Piyo walaupun Piyo sudah melihat balon itu duluan dan berusaha keras mengejarnya. Saya pun menjawab, “No, it’s not. It’s not hers.” Anak itu menjawab lagi, “Okay, I’m gonna give it to my sister. She likes balloon.” Dan anak itu pun pergi. Pergi sambil membawa balon yang sudah dikejar Piyo.

Piyo kecil tentu saja langsung menangis histeris melihat si balon dibawa pergi. Perasaan saya? Campur aduk. Saya gendong Piyo, berusaha mengalihkan perhatiannya ke hal lain. Saya merasa telah bertindak sangat bodoh dengan tidak berargumen untuk balon itu. I really felt terrible. Like the worst mom in the whole universe. Why can’t I just said that my baby also likes balloon and she was trying to get it? Why can’t I just answered YES for the first question?

Kalau ada perasaan dihantui rasa bersalah, setelah momen itu, itulah yang saya rasakan. Setelah acara selesai, karena rasa bersalah yang sangat besar, saya ajak suami berkeliling area festival sekali lagi, siapa tau ada sisa balon dekorasi yang bisa diambil Piyo. Kalaupun tidak ada, saya sudah berniat untuk membeli balon di supermarket. Pokoknya harus ada balon untuk Piyo sebagai penebus rasa bersalah saya. Satu putaran kami lalui, tak ada balon tersisa. Ah sudahlah, pikir saya. Mungkin memang tidak ada balon untuk Piyo saat ini. Saya ikhlas, dan kami berjalan pulang. Namun tiba-tiba, tak sampai sepuluh detik sejak saya berkata ikhlas dalam hati, sebuah balon merah melintas terbang beberapa meter di depan Piyo. Iya, tiba-tiba, entah dari mana. Tiba-tiba muncul ajaOut of thin air! 

Tak ingin merasa bersalah untuk kedua kalinya, saya turunkan Piyo dari stroller dan menyuruhnya mengejar balon itu. Dia mendapatkannya 🙂 Ah…lega rasanya.

Setelah kejadian itu saya berpikir, mungkin itu memang cara sederhana Tuhan untuk mengingatkan saya tentang keikhlasan. Dan untuk selalu mengingat kekuasanNya. Bahwa Dia, yang Maha Menjadikan segala sesuatu. Dia, Yang Maha Kuasa. Juga satu hal lagi, bahwa Tuhan telah menyiapkan rezeki untuk masing-masing hambaNya. Apabila sudah ditetapkan olehNya, maka tak ada kuasa lain yang dapat menghalangi sampainya rezeki itu. Lebay? Enggak. Lebih tepat dikatakan mengaku lemah. Lemah bahwa sempat lupa akan kuasaNya 🙂

Akhirul kalam- finally, I have to say… “Go play with your red balloon, little one. Itu rezekimu.”

Image