Ketika Kita Harus Memilih

Jakarta, Juni 2011

Pada hari Jumat, 3 Jun 2011, di sebuah hotel berbintang di bilangan Pancoran Jakarta terselengaralah kegiatan debat calon ketua umum sebuah organisasi alumni sebuah SLTA ternama. Debat ini melibatkan empat calon ketua umum organisasi tersebut. Kehadiran saya pada acara itu adalah sebagai panelis yang bertugas untuk melontarkan pertanyaan terkait peran organisasi tersebut untuk sektor pertahanan negara.

Dari beberapa pembicaraan saya dengan kawan-kawan yang berkecimpung di bidang pertahanan dan keamanan, baik sebagai anggota militer, polisi, kementrian ataupun sektor swasta, dapat ditarik kesimpulan bahwa “TENTARA ADALAH ALAT NEGARA, BUKAN ALAT PEMERINTAH, PARTAI POLITIK, GOLONGAN ATAU KELOMPOK KEPENTINGAN LAIN”. Setelah bimbang pertanyaan apa yang akan saya lontarkan kepada para calon ketua umum itu, akhirnya saya memilih untuk memberikan sebuah pertanyaan yang cukup sederhana, “BILA SEKELILING RUMAH DALAM SITUASI YANG SANGAT SEPI DAN HANYA ADA KENDARAAN KANTOR, SEMENTARA ANAK ANDA SAKIT, APAKAH YANG AKAN ANDA LAKUKAN?”

Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana namun menunjukan integritas seseorang, entah kepada keluarga maupun kepada tempat dia bekerja. Pertanyaan ini dijawab oleh tiga calon ketua umum dengan menggunakan mobil dinas untuk mengantar anak kerumah sakit, dengan berbagai alasan pendukung yang mereka buat masing-masing. Sementara yang satu lagi berpendapat bahwa mobil tersebut bukanlah hak dia jika digunakan utuk mengantar anaknya kerumah sakit, yang bersangkutan lebih memilih menggendong anaknya, siapa tahu ketemu kendaraan umum di jalan.

Sebenarnya pertanyaan sederhana itu bukan tanpa alasan saya lontarkan. Kendaraan milik kantor menjadi sebuah simbol kepercayaan yang diberikan oleh sebuah organisasi yang pada saat itu mutlak berada ditangan kita tanpa pengawasan melekat dari pihak pemilik. Sementara anak menjadi sebuah simbol kepentingan yang memiliki kedekatan emosional dengan kita. Keduanya dapat berubah seiring dengan dimana dan kepentingan apa yang sedang kita hadapi. Seperti misalnya, di saat seorang polisi yang sedang bekerja dihadapkan pada pelanggaran hukum oleh saudaranya atau bahkan istrinya, atau seorang perwira militer yang sedang berada dalam rapat koordinasi yang mengharuskan dia harus memilih antara kepentingan masyarakat luas atau korpsnya. Pilihan-pilihan yang demikian sering harus kita hadapi dan sulit kita elakkan. Memilih “YANG MENJADI TANGGUNG JAWAB ATAU YANG MEMILIKI KEDEKATAN EMOSIONAL”.

Berkaca pada sebuah cerita tentang seorang penguasa negara yang sedang mengerjakan surat-surat kenegaraan pada malam hari. Disaat sedang asik-asiknya mengerjakan tugasnya, datanglah anak sang penguasa mengetuk ruang kerja sang penguasa. Seketika itu pula dia mematikan lampu minyak yang sedang digunakannya dan menyalakan lampu minyak yang lainnya. Ketika sang anak bertanya mengapa sang penguasa melakukan itu, jawabannya ternyata sederhana, “KARENA MINYAK LAMPU YANG SATU DIBELI DENGAN UANG NEGARA MAKA LAMPU ITU SAYA MATIKAN”.

Demi anak dan keluarga adalah sebuah alasan yang cukup masuk akal dan dapat diterima oleh nalar. Tapi alasan itu juga yang membuat seorang pejabat negara menggunakan uang departemennya demi pengobatan anaknya yang sakit. Alasan itu juga yang membuat seorang penguasa negara membuat aturan yang menjamin agar anaknya dapat mendapatkan untung besar dalam sebuah bisnis. Alasan itu juga yang membuat seorang pebisnis mengorbankan kepentingan masyarakat luas untuk menjamin anaknya dapat hidup dengan “layak”. Alasan itu juga yang membuat seorang pengemudi dapat membahayakan nyawa orang lain untuk menjamin anaknya punya cukup waktu entah bersama dia atau waktu untuk melakukan hobi sang anak.

Saudaraku, kamu hanya satu dari empat, menggambarkan juga seberapa banyak orang diluar sana yang sependapat dengan kamu. Berat memang, dan perjuanganmu akan sangat sulit. Namun saya yakin, perjuangan itu tidak akan sia-sia. Selamat berjuang, semoga “TIDAK AKAN PERNAH ADA SESUATU YANG BUKAN HAK YANG KITA BAWA PULANG”, amin.

-toe-

Leave a comment